Riwayat Burung Pamal di Sitapung, Parlilitan dan Hubungannya dengan Manduamas
PARLILITAN ONLINE -- Sitapung adalah salah satu kampung yang ada di Desa Sionom Hudon Runggu, Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatra Utara. Desa ini kaya akan cerita sejarah. Di sekitar desa inilah Sisingamangaraja XII wafat ditembak tentara Belanda.
Selain cerita sejarah, Desa Sionom Hudon, khususnya di Kampung Sitapung kaya akan cerita budaya. Salah satunya tentang gerombolan burung "ajaib" yang dikenal dengan nama burung Pamal.
Menurut cerita yang diyakini masyarakat setempat, burung ini adalah burung kiriman Simbuyak-mbuyak. Simbuyak-mbuyak adalah tokoh mistis nan sakti. Secara fisik sosoknya dideskripsikan tidak memiliki tulang belakang dan sampai akhir hayatnya tidak menikah. Dia adalah seorang pengelana yang berpergian untuk menguji kesaktiannya.
Karena perawakannya itulah sejumlah sumber menyebut Simbuyak-mbuyak adalah nama lain dari Raja Biak-biak atau yang lebih populer dikenal Raja Uti. Raja Uti adalah anak sulung Guru Tatea Bulan (anak Si Raja Batak) yang sangat dihormati masyarakat Batak.
Kepala Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen Medan, Manguji Nababan, mengisahkan sebuah cerita bernilai filosofis yang melatarbelakangi keberadaan burung ini.
Suatu ketika Simbuyak-mbuyak pergi merantau ke Manduamas. Dia meninggalkan pesan kepada saudara-saudaranya, Tinambunan, Tumangger, Maharaja, Turutan, Pinayungan dan Anak Ampun, agar ternak dan tanaman yang mereka usahakan jangan dulu dipanen sebelum ia pulang.
Namun pesan itu tidak dipenuhi. Mereka memakan ternak dan hasil ladang tanpa menunggu saudaranya itu. Simbuyak-mbuyak marah. Ia tidak mau lagi pulang ke kampung halamannya itu. Sebagai gantinya, setiap tahun Simbuyak-mbuyak mengirim segerombolan burung Pamal kepada saudara-saudaranya itu. Itu adalah pertanda bahwa dia dalam keadaan sehat.
Sampai sekarang, setiap tahun kawanan burung itu datang bergerombolan ke Kampung Sitapung. Tepatnya setiap tanggal 15 Oktober dan baru akan pergi tanggal 15 April," kata Manguji kepada medanbisnisdaily.com, Selasa (3/4/2018).
Ditambahkan Manguji, Kampung Sitapung terletak di Kecamatan Parlilitan Humbahas (desa terluar, 60 km dari Dolok Sanggul). Desa ini didiami marga Maharaja sebagai marga raja (pendiri kampung) dan marga Hasugian sebagai marga boru yang bermukim secara turun temurun bersama marga yang lain.
Desa Sitapung berada di kaki bukit Sihambing dengan hamparan sawah yang memiliki banyak sungai yang lebar dan curam. Daerah ini tidak jauh dari Pearaja, markas Sisingamangaraja dan Aek Sibulbulon, tempat tewasnya Sang Raja di ujung peluru pasukan Hans Cristoffel.
Kedatangan burung-burung itu, tambah Manguji, akan menjadi atraksi bagi masyarakat. Mereka berlomba menjerat burung itu dengan jaring untuk dikonsumsi. Tradisi itu disebut "marbanto'.
Ditambahkan Manguji, Pamal adalah burung aneh. Dari puluhan ribu yang datang itu, ukuran badannya sama besar. Tidak terlihat perbedaan jantan dan betina. Selama bermigrasi tidak ada burung yang bersarang/bertelur. Selain itu, seberapa banyak pun yang tertangkap, jumlahnya seperti tidak berkurang.
Para tetuah kampung di sana meyakini kedatangan burung-burung itu sebagai isyarat untuk memulai musim tanam.
"Jika ekor burung Pamal ketika terbang cenderung menukik ke bawah, maka itu pertanda musim tanam bisa dimulai," kata Manguji.
Aktivitas "marbanto" juga menanamkan nilai-nilai kebersamaan dan kejujuran. Sebab, jika di antara mereka terjadi selisih paham atau kelakuan yang tercela, maka perburuan burung tidak akan mendapat hasil. (sumber)
Selain cerita sejarah, Desa Sionom Hudon, khususnya di Kampung Sitapung kaya akan cerita budaya. Salah satunya tentang gerombolan burung "ajaib" yang dikenal dengan nama burung Pamal.
Menurut cerita yang diyakini masyarakat setempat, burung ini adalah burung kiriman Simbuyak-mbuyak. Simbuyak-mbuyak adalah tokoh mistis nan sakti. Secara fisik sosoknya dideskripsikan tidak memiliki tulang belakang dan sampai akhir hayatnya tidak menikah. Dia adalah seorang pengelana yang berpergian untuk menguji kesaktiannya.
Karena perawakannya itulah sejumlah sumber menyebut Simbuyak-mbuyak adalah nama lain dari Raja Biak-biak atau yang lebih populer dikenal Raja Uti. Raja Uti adalah anak sulung Guru Tatea Bulan (anak Si Raja Batak) yang sangat dihormati masyarakat Batak.
Kepala Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen Medan, Manguji Nababan, mengisahkan sebuah cerita bernilai filosofis yang melatarbelakangi keberadaan burung ini.
Suatu ketika Simbuyak-mbuyak pergi merantau ke Manduamas. Dia meninggalkan pesan kepada saudara-saudaranya, Tinambunan, Tumangger, Maharaja, Turutan, Pinayungan dan Anak Ampun, agar ternak dan tanaman yang mereka usahakan jangan dulu dipanen sebelum ia pulang.
Namun pesan itu tidak dipenuhi. Mereka memakan ternak dan hasil ladang tanpa menunggu saudaranya itu. Simbuyak-mbuyak marah. Ia tidak mau lagi pulang ke kampung halamannya itu. Sebagai gantinya, setiap tahun Simbuyak-mbuyak mengirim segerombolan burung Pamal kepada saudara-saudaranya itu. Itu adalah pertanda bahwa dia dalam keadaan sehat.
Sampai sekarang, setiap tahun kawanan burung itu datang bergerombolan ke Kampung Sitapung. Tepatnya setiap tanggal 15 Oktober dan baru akan pergi tanggal 15 April," kata Manguji kepada medanbisnisdaily.com, Selasa (3/4/2018).
Ditambahkan Manguji, Kampung Sitapung terletak di Kecamatan Parlilitan Humbahas (desa terluar, 60 km dari Dolok Sanggul). Desa ini didiami marga Maharaja sebagai marga raja (pendiri kampung) dan marga Hasugian sebagai marga boru yang bermukim secara turun temurun bersama marga yang lain.
Desa Sitapung berada di kaki bukit Sihambing dengan hamparan sawah yang memiliki banyak sungai yang lebar dan curam. Daerah ini tidak jauh dari Pearaja, markas Sisingamangaraja dan Aek Sibulbulon, tempat tewasnya Sang Raja di ujung peluru pasukan Hans Cristoffel.
Kedatangan burung-burung itu, tambah Manguji, akan menjadi atraksi bagi masyarakat. Mereka berlomba menjerat burung itu dengan jaring untuk dikonsumsi. Tradisi itu disebut "marbanto'.
Ditambahkan Manguji, Pamal adalah burung aneh. Dari puluhan ribu yang datang itu, ukuran badannya sama besar. Tidak terlihat perbedaan jantan dan betina. Selama bermigrasi tidak ada burung yang bersarang/bertelur. Selain itu, seberapa banyak pun yang tertangkap, jumlahnya seperti tidak berkurang.
Para tetuah kampung di sana meyakini kedatangan burung-burung itu sebagai isyarat untuk memulai musim tanam.
"Jika ekor burung Pamal ketika terbang cenderung menukik ke bawah, maka itu pertanda musim tanam bisa dimulai," kata Manguji.
Aktivitas "marbanto" juga menanamkan nilai-nilai kebersamaan dan kejujuran. Sebab, jika di antara mereka terjadi selisih paham atau kelakuan yang tercela, maka perburuan burung tidak akan mendapat hasil. (sumber)
Post a Comment