Ajakan Gotong Royong Perbaiki Masjid Suriah di Rif Damaskus
Di pedesaan Rif Damaskus, ratusan masjid berdiri sebagai saksi sejarah dan pusat kehidupan masyarakat. Namun, sebagian di antaranya kini hanya menyisakan puing setelah diterpa konflik panjang. Sebuah video yang beredar baru-baru ini menyoroti kondisi 70 masjid yang hancur total atau sebagian, dari total sekitar 1.400 masjid yang ada di kawasan tersebut.
Video tersebut mengangkat suara masyarakat pedesaan yang menginginkan perhatian lebih terhadap kondisi rumah ibadah mereka. Dengan kalimat penutup “pedesaan kami layak mendapatkan”, video itu seolah menyampaikan jeritan hati warga yang merindukan tempat beribadah kembali berdiri kokoh. Tanggal 20 September disebut sebagai momentum harapan bagi dimulainya gerakan kebangkitan.
Ajakan gotong royong pun menggema, baik berupa sumbangan tenaga maupun dana. Warga diyakinkan bahwa kebersamaan adalah modal utama untuk membangkitkan kembali masjid-masjid yang rusak. Setiap batu yang diletakkan, setiap koin yang disumbangkan, dianggap sebagai amal jariyah yang kelak mengalir tanpa henti.
Namun, di balik seruan itu muncul pertanyaan besar: apakah pembangunan masjid di Rif Damaskus sebaiknya diserahkan sepenuhnya kepada warga sekitar, atau perlu ada campur tangan pemerintah yang lebih terorganisir? Pertanyaan ini menjadi bahan diskusi hangat di kalangan masyarakat maupun tokoh agama.
Pemerintah Suriah sesungguhnya memiliki opsi untuk membentuk pasukan rekonstruksi khusus. Pasukan ini bisa dikerahkan secara cepat, sistematis, dan terstruktur untuk mempercepat pembangunan masjid maupun fasilitas umum lainnya. Model seperti ini sudah pernah dilakukan dalam beberapa proyek rekonstruksi pascaperang di negara-negara lain.
Dengan adanya pasukan rekonstruksi, pembangunan dapat berlangsung lebih tertib. Standar keamanan, arsitektur, dan administrasi bisa diawasi dengan ketat. Masjid pun dapat dibangun dengan kualitas yang terjamin dan menyeluruh di berbagai desa Rif Damaskus.
Di sisi lain, gotong royong masyarakat tetap memiliki keunggulan tersendiri. Keterlibatan warga akan memperkuat rasa memiliki terhadap masjid yang mereka bangun. Masjid bukan hanya berdiri sebagai bangunan fisik, melainkan juga simbol kebersamaan dan kekuatan komunitas.
Ketika masyarakat turun langsung, hubungan sosial pun ikut terjalin erat. Warga merasakan kebahagiaan bersama, saling membantu, dan mengisi kekosongan akibat luka konflik. Semangat kolektif seperti ini justru seringkali menjadi pengobat bagi trauma berkepanjangan.
Meski demikian, gotong royong masyarakat kerap terkendala keterbatasan dana dan tenaga. Tidak semua desa memiliki cukup sumber daya untuk membangun masjid kembali. Bahkan, ada desa yang terpaksa menunda pembangunan karena tidak mampu membeli bahan material.
Situasi ini menimbulkan dilema. Jika hanya mengandalkan masyarakat, pembangunan bisa berjalan lambat dan tidak merata. Tetapi jika sepenuhnya bergantung pada pemerintah, semangat kemandirian masyarakat bisa terkikis.
Beberapa tokoh agama menyarankan jalan tengah: pemerintah membentuk pasukan rekonstruksi, namun tetap membuka ruang partisipasi masyarakat. Skema ini memungkinkan pengawasan dan efisiensi tetap terjaga, sekaligus menjaga semangat gotong royong.
Dengan begitu, masyarakat dapat terlibat dalam bentuk tenaga dan dukungan moral, sementara pemerintah mengurus aspek teknis dan pembiayaan besar. Perpaduan ini dinilai bisa mempercepat pembangunan sekaligus menjaga harmoni sosial.
Selain itu, pembangunan masjid di Rif Damaskus bukan sekadar urusan fisik. Masjid juga menjadi pusat pendidikan, kegiatan sosial, dan bahkan forum musyawarah. Karena itu, cara membangunnya harus benar-benar melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Sumbangan dana dari diaspora Suriah juga mulai digalang. Banyak warga Suriah di luar negeri yang tergerak membantu karena masjid bagi mereka bukan hanya rumah ibadah, tetapi juga lambang identitas bangsa. Gerakan ini semakin menegaskan pentingnya solidaritas lintas batas.
Jika pemerintah Suriah serius dalam membentuk pasukan rekonstruksi, transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci. Warga harus diyakinkan bahwa dana dan tenaga yang terkumpul benar-benar digunakan untuk membangun, bukan sekadar janji politik.
Pemerhati rekonstruksi juga menekankan pentingnya memperhatikan arsitektur tradisional dalam membangun kembali masjid. Hal ini agar masjid tetap menyatu dengan budaya lokal Rif Damaskus dan tidak kehilangan nilai sejarahnya.
Dengan ajakan gotong royong yang kini semakin luas, harapan baru muncul di tengah masyarakat pedesaan Damaskus. Mereka percaya bahwa kebersamaan dapat melahirkan kekuatan besar, meski kondisi ekonomi masih sulit.
Sejauh ini, suara warga tampaknya condong pada kombinasi antara peran masyarakat dan pemerintah. Tanpa keterlibatan aktif warga, masjid tidak akan memiliki jiwa. Tanpa peran pemerintah, masjid sulit berdiri dengan cepat dan layak.
Video yang ditutup dengan seruan “pedesaan kami layak mendapatkan” seakan menjadi simbol tekad warga. Masjid bukan hanya rumah ibadah, tetapi juga jantung kehidupan sosial. Dan kini, masyarakat Rif Damaskus menunggu tangan-tangan yang siap membantu mewujudkan kembali cahaya di tengah reruntuhan.
Post a Comment