Jadi Tantangan Mualaf, Laznas DD Buka Kursus Mengurus Jenazah
Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al Muhajirin Perumahan Bukit Dago bekerjasama dengan LAZNAS (Lembaga Zakat Nasional) Dewan Dakwah, menggelar kursus singkat pulasara (pemuliaan) jenazah di Masjid Al Muhajirin Perum Bukit Dago Blok A, Desa Rawakalong, Kec Gunungsindur, Bogor, Sabtu (27/01) pagi.
Shortcourse diikuti 30 peserta pria maupun wanita, yang terdiri Ketua RW (Rukun Warga), Pengurus DKM, dan jamaah masjid.
Fasilitator kursus adalah Ustadz Sutono Rahmat dari Dewan Dakwah DKI Jakarta dan Muhammad Idris dari LAZNAS Dewan Dakwah.
Dalam sambutannya pada pembukaan acara, Taufan selaku Ketua RW mengatakan, kursus ini sangat penting bagi warga. ‘’Bahkan berikutnya kita undang perwakilan setiap RT untuk mengikuti kursus ini,’’ katanya.
Hadi, Ketua DKM Al Muhajirin, mengungkapkan bahwa malam sebelumnya ada warga dekat masjid yang wafat. ‘’Yang meninggal perempuan, dan sudah ada yang mengurus. Kita jadi semakin bersemangat mengikuti kursus ini, untuk mengantisipasi jika ada warga pria yang wafat,’’ tuturnya sambil tersenyum.
Acara dimulai dengan sosialisasi program dakwah pedalaman Dewan Dakwah yang disampaikan Ustadz Idris.
Antara lain ia menyampaikan, ada satu kampung mualaf di Kepulauan Mentawai yang berpindah agama lantaran tak dibimbing da’i. ‘’Tidak ada da’i yang membina mereka, sehingga warga kecewa karena tidak bisa mengurus jenazah keluarga mereka secara Islami,’’ ungkap Idris yang pernah bertugas dakwah di Pulau Seram, Maluku.
Ustadz Rahmat dalam pengantarnya berujar, sebetulnya mengurus jenazah sesuai syariat Islam tidak begitu sulit. “Yang membuat rumit karena tata caranya bercampur dengan adat-istiadat budaya lokal, sehingga menjadi ribet dan menakutkan,” katanya.
Oleh karena itu, fardhu kifayah ini harus dilaksanakan sesuai syariat Islam saja. “Jangan ditambah-tambahi dengan ritual-ritual yang tidak ada dasar hukumnya,’’ tandas Ustadz Rahmat.
Kursus pemulasaraan jenazah yang komplit, mustinya dimulai dari pendampingan saat sakit kritis, sakaratul maut, pemandian, pengafanan, menyolatkan, dan menguburkannya.
Lantaran waktunya tak cukup, kursus hanya meliputi praktik empat kaifiyat terakhir.
‘’Memuliakan jenazah sebetulnya lebih diutamakan oleh keluarga mayit. Jadi kalau orangtua wafat, anak jangan hanya menangis, tapi juga mengurus jenazahnya sebagai bagian dari birrul walidaini.’’
Beberapa hal yang menjadi pemahaman baru bagi peserta misalnya tentang siapa yang boleh memandikan mayit. Syarat pokoknya, yang memandikan haruslah mukalaf (muslim aqil-balih) yang punya ilmu, amanah (menutup aib mayit), dan ikhlas.
‘’Jenazah laki-laki harus dimandikan laki-laki, dan sebaliknya. Kecuali suami-istri, boleh suami memandikan jenazah istri, dan sebaliknya,’’ terang Ustadz Rahmat.
Penggunaan air kembang tujuh rupa untuk memandikan mayit, juga sekadar budaya. “Itu sepengetahuan saya tidak ada dasar hukumnya, tapi merupakan budaya Hindu-Buddha,” terang Ustadz Rahmat.
Yang sahih, imbuhnya, adalah menggunakan air perasa daun sider (bidara) atau sabun untuk membasuh badan, sampo untuk mengeramasi rambut, dan cairan kapur barus sebagai siraman pewangi terjahir.
“Jika mayit dalam kondisi sudah berbau, bisa dibilas dengan air mentimun untuk mengurangi aromanya,” ungkap Ustadz Rahmat.
Perlengkapan mayit seperti kain kafan, imbuhnya, diambilkan dari harta almarhum/almarhumah. ‘’Walaupun anak-anaknya mampu membelikan, tapi perlengkapan jenazah tetap harus dari hartanya sendiri,’’ tandas Ustadz. (sumber)
Shortcourse diikuti 30 peserta pria maupun wanita, yang terdiri Ketua RW (Rukun Warga), Pengurus DKM, dan jamaah masjid.
Fasilitator kursus adalah Ustadz Sutono Rahmat dari Dewan Dakwah DKI Jakarta dan Muhammad Idris dari LAZNAS Dewan Dakwah.
Dalam sambutannya pada pembukaan acara, Taufan selaku Ketua RW mengatakan, kursus ini sangat penting bagi warga. ‘’Bahkan berikutnya kita undang perwakilan setiap RT untuk mengikuti kursus ini,’’ katanya.
Hadi, Ketua DKM Al Muhajirin, mengungkapkan bahwa malam sebelumnya ada warga dekat masjid yang wafat. ‘’Yang meninggal perempuan, dan sudah ada yang mengurus. Kita jadi semakin bersemangat mengikuti kursus ini, untuk mengantisipasi jika ada warga pria yang wafat,’’ tuturnya sambil tersenyum.
Acara dimulai dengan sosialisasi program dakwah pedalaman Dewan Dakwah yang disampaikan Ustadz Idris.
Antara lain ia menyampaikan, ada satu kampung mualaf di Kepulauan Mentawai yang berpindah agama lantaran tak dibimbing da’i. ‘’Tidak ada da’i yang membina mereka, sehingga warga kecewa karena tidak bisa mengurus jenazah keluarga mereka secara Islami,’’ ungkap Idris yang pernah bertugas dakwah di Pulau Seram, Maluku.
Ustadz Rahmat dalam pengantarnya berujar, sebetulnya mengurus jenazah sesuai syariat Islam tidak begitu sulit. “Yang membuat rumit karena tata caranya bercampur dengan adat-istiadat budaya lokal, sehingga menjadi ribet dan menakutkan,” katanya.
Oleh karena itu, fardhu kifayah ini harus dilaksanakan sesuai syariat Islam saja. “Jangan ditambah-tambahi dengan ritual-ritual yang tidak ada dasar hukumnya,’’ tandas Ustadz Rahmat.
Kursus pemulasaraan jenazah yang komplit, mustinya dimulai dari pendampingan saat sakit kritis, sakaratul maut, pemandian, pengafanan, menyolatkan, dan menguburkannya.
Lantaran waktunya tak cukup, kursus hanya meliputi praktik empat kaifiyat terakhir.
‘’Memuliakan jenazah sebetulnya lebih diutamakan oleh keluarga mayit. Jadi kalau orangtua wafat, anak jangan hanya menangis, tapi juga mengurus jenazahnya sebagai bagian dari birrul walidaini.’’
Beberapa hal yang menjadi pemahaman baru bagi peserta misalnya tentang siapa yang boleh memandikan mayit. Syarat pokoknya, yang memandikan haruslah mukalaf (muslim aqil-balih) yang punya ilmu, amanah (menutup aib mayit), dan ikhlas.
‘’Jenazah laki-laki harus dimandikan laki-laki, dan sebaliknya. Kecuali suami-istri, boleh suami memandikan jenazah istri, dan sebaliknya,’’ terang Ustadz Rahmat.
Penggunaan air kembang tujuh rupa untuk memandikan mayit, juga sekadar budaya. “Itu sepengetahuan saya tidak ada dasar hukumnya, tapi merupakan budaya Hindu-Buddha,” terang Ustadz Rahmat.
Yang sahih, imbuhnya, adalah menggunakan air perasa daun sider (bidara) atau sabun untuk membasuh badan, sampo untuk mengeramasi rambut, dan cairan kapur barus sebagai siraman pewangi terjahir.
“Jika mayit dalam kondisi sudah berbau, bisa dibilas dengan air mentimun untuk mengurangi aromanya,” ungkap Ustadz Rahmat.
Perlengkapan mayit seperti kain kafan, imbuhnya, diambilkan dari harta almarhum/almarhumah. ‘’Walaupun anak-anaknya mampu membelikan, tapi perlengkapan jenazah tetap harus dari hartanya sendiri,’’ tandas Ustadz. (sumber)
Post a Comment