Tentang Buku Tuanku Rao
Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981
Salah seorang yang menganggap remeh perjuangan kaum Padri dan pemimpinnya Tuanku Imam Bonjol, ialah Ir. Parlindungan dalam buku Tuanku Rao. Dalam naskah asli buku ini, penulis memberikan lebih dari 20 halaman khusus mengenai karangan Ir. Parlindungan yang kita hormati itu.
Tapi akhirnya penulis tarik kembali karena buku Tuanku Rao menyangkut begitu banyak hal yang masih dipertanyakan, hingga penulis merasa tidak sanggup untuk melayaninya secara agak memuaskan.
Mudah-mudahan apa yang penulis kemukakan dalam buku ini, berbentuk cuplikan-cuplikan pihak musuh kita sendiri, cukup rasanya menunjukkan bahwa Perang Pidari tidaklah seperti yang ditulis Ir. Parlindungan tersebut. Saya rasa pandangan yang kita baca dalam Tuanku Rao banyak terpengaruh oleh cara-caranya para penulis Belanda memandang Perang Padri itu.
Kita jangan lupa bahwa perjuangan Kaum Padri, pada dasarnya adalah perjuangan untuk cita-cita. Sedangkan Belanda menjalanka perang kolonial. Oleh karena itu yang paling ditonjolkan secara teliti dan mendetail sekali adalah perang senjata. Kemenangan bagi pihak Belanda berarti sekian banyak manusia dibunuh atau material yang dirampas maupun luas daerah direbut.
Bagi kaum Pidari, jika anjuran-anjuran mereka yang baik, dilaksanakan oleh rakyat sudah bersifat kemenangan. Begitu pula jika rakyat membuang segala kebiasaan yanh jelek. Bahwa kalau perlu, mereka juga bisa bertempur dengan dahsyat, diakui oleh musushnya sendiri.
Terpengaruh oleh cara-cara penyajian Belanda ini, banyak penulis kita sering meneropong peperangan itu dari sudut kalah menangnya pertempuran saja. Terlupakan segi-segi ekonomis, cita-cita di bidang agama yang melatarbelakangi semua itu.
Namun begitu, buku Tuanku Rao harus mendapat penghargaan kita. Ir. Parlindungan adalah satu-satunya yang memakai sumber-sumber sendiri. Walaupun kita tidak mendapat kesempatan membacanya untuk dinilai. Terlepas benar atau tidaknya sumber-sumber yang dipakai beliau tetapi coba bandingkan dengan pengarang kita yang yang tidak saja mempergunakan sumber-sumber Belanda tetapi malah sumber-sumber yang telah 'dikerjakan' para ahli kolonial mereka.
Bertalian dengan soal di atas, tepat juga kritiknya terhadap penulis sejarah yang 'menjungkirbalikkan fakta' (istilah parlindungan sendiri) apa yang minus untuk Belanda dijadikan plus untuk kita, apa yang plus untuk Belanda sedapat mungkin didiamkan saja, apa yang tidak diceritakan Belanda kitapun gelap gulita! Kita akui bahwa bahan-bahan asal bangsa sendiri sangat minim. Kalau toh ingin menonjolkan peranan atau kehebatan bangsa kita, janganlah memakai cara 'jungkirbalikkan fakta' tadi. Sebab walaupun ditulis oleh bekas musuh, fakta-fakta ini ada. Tetapi jangan harapkan mendapatkannya dalam buku-buku sejarah yang 'standard' yang telah diproses dahulu oleh penjajah kita.
Walaupun mengenai isinya banyak yang masih dipertanyakan tetapi dipandang dari sudut sumber yang dipakai, buku Tuanku Rao sungguh harus mendapat penghargaan sendiri.
Salah seorang yang menganggap remeh perjuangan kaum Padri dan pemimpinnya Tuanku Imam Bonjol, ialah Ir. Parlindungan dalam buku Tuanku Rao. Dalam naskah asli buku ini, penulis memberikan lebih dari 20 halaman khusus mengenai karangan Ir. Parlindungan yang kita hormati itu.
Tapi akhirnya penulis tarik kembali karena buku Tuanku Rao menyangkut begitu banyak hal yang masih dipertanyakan, hingga penulis merasa tidak sanggup untuk melayaninya secara agak memuaskan.
Mudah-mudahan apa yang penulis kemukakan dalam buku ini, berbentuk cuplikan-cuplikan pihak musuh kita sendiri, cukup rasanya menunjukkan bahwa Perang Pidari tidaklah seperti yang ditulis Ir. Parlindungan tersebut. Saya rasa pandangan yang kita baca dalam Tuanku Rao banyak terpengaruh oleh cara-caranya para penulis Belanda memandang Perang Padri itu.
Kita jangan lupa bahwa perjuangan Kaum Padri, pada dasarnya adalah perjuangan untuk cita-cita. Sedangkan Belanda menjalanka perang kolonial. Oleh karena itu yang paling ditonjolkan secara teliti dan mendetail sekali adalah perang senjata. Kemenangan bagi pihak Belanda berarti sekian banyak manusia dibunuh atau material yang dirampas maupun luas daerah direbut.
Bagi kaum Pidari, jika anjuran-anjuran mereka yang baik, dilaksanakan oleh rakyat sudah bersifat kemenangan. Begitu pula jika rakyat membuang segala kebiasaan yanh jelek. Bahwa kalau perlu, mereka juga bisa bertempur dengan dahsyat, diakui oleh musushnya sendiri.
Terpengaruh oleh cara-cara penyajian Belanda ini, banyak penulis kita sering meneropong peperangan itu dari sudut kalah menangnya pertempuran saja. Terlupakan segi-segi ekonomis, cita-cita di bidang agama yang melatarbelakangi semua itu.
Namun begitu, buku Tuanku Rao harus mendapat penghargaan kita. Ir. Parlindungan adalah satu-satunya yang memakai sumber-sumber sendiri. Walaupun kita tidak mendapat kesempatan membacanya untuk dinilai. Terlepas benar atau tidaknya sumber-sumber yang dipakai beliau tetapi coba bandingkan dengan pengarang kita yang yang tidak saja mempergunakan sumber-sumber Belanda tetapi malah sumber-sumber yang telah 'dikerjakan' para ahli kolonial mereka.
Bertalian dengan soal di atas, tepat juga kritiknya terhadap penulis sejarah yang 'menjungkirbalikkan fakta' (istilah parlindungan sendiri) apa yang minus untuk Belanda dijadikan plus untuk kita, apa yang plus untuk Belanda sedapat mungkin didiamkan saja, apa yang tidak diceritakan Belanda kitapun gelap gulita! Kita akui bahwa bahan-bahan asal bangsa sendiri sangat minim. Kalau toh ingin menonjolkan peranan atau kehebatan bangsa kita, janganlah memakai cara 'jungkirbalikkan fakta' tadi. Sebab walaupun ditulis oleh bekas musuh, fakta-fakta ini ada. Tetapi jangan harapkan mendapatkannya dalam buku-buku sejarah yang 'standard' yang telah diproses dahulu oleh penjajah kita.
Walaupun mengenai isinya banyak yang masih dipertanyakan tetapi dipandang dari sudut sumber yang dipakai, buku Tuanku Rao sungguh harus mendapat penghargaan sendiri.
Post a Comment