Header Ads

Kompetisi Sub-kultur

RIVALITAS TATEA BULAN DAN SUMBA


Dua kubu besar yang menurunkan orang-orang Batak saat ini dari dulu selalu mengalami rivalitas dan persaingan antara mereka. Baik itu dalam dominasi huta, ekonomi, politik dan sosial.

Si Raja Batak menurunkan tiga anak yang menjadi sumber penurunan marga bagi orang Batak. Pertama Tatea Bulan, kedua Sumba dan ketiga Toga Laut. Yang terakhir ini keturunannya tidak terlacak karena dia bermigrasi ke Aceh.

Guru Tatea Bulan menurunkan lima orang anak yang menurunkan marga. Mereka adalah Raja Biak-biak atau Raja Uti atau Raja Miok-miok, Tuan Sariburaja, Limbongmulana, Sagalaraja dan Malauraja. Guru Isumbaon (Sumba) menurunkan Sorimangaraja yang mempunyai tiga anak yaitu, Sorbadijulu, Sorbadijae dan Sorbadibanua.

Sariburaja menurunkan tiga anak yaitu Raja Lontung, Raja Borbor dan Babiat. Sementara itu Raja Borbor mempunyai tujuh anak yaitu, Situmorang, Sinagaraja, Pandiangan, Nainggolan, Siregar, Aritonang dan Simatupang.

Di pihak Sumba, Sorbadibanua menurunkan delapan anak yaitu, Sibagotnipohan, Sipaettua, Silahisabungan, Raja Oloan, Raaj Hutalima, Raja Sumba, Si Raja Sobu dan Naipospos. Raja Hutalima menurunkan enam anak yaitu, Baho Raja, Sihotang, Bakkara, Sinambela, Sihite dan Manullang.

Dalam sejarah Batak baik itu di Toba maupun di luar Toba, persaingan dan rivalitas antara keturunan Tate Bulan dan Sumba sangat intens bahkan mempengaruhi peta politik, adat dan sosial di tanah Batak.

Di satu sisi, persaingan antar dua kubu ini memberi dampak positif terhadap iklim politik di masyarakat Batak di mana setiap pihak akan mati-matian memperjuangakn kepentingan kelompoknya sehingga timbullah kompromi yang menjadi ciri khas dari masyarakat yang demokratis. Persaingan ini pula yang menyebabkan migrasi orang-orang Batak dimana yang kalah akan memilih untuk mengungsi ke hutan dan membuka hunian baru dalam bentuk huta. Sehingga tanah Batak selalu berevolusi semakin luas seiring dengan penjalanan waktu.

Namun di lain pihak pertikaian tersebut juga sangat berpengaruh terhadap stabilitas politik suku Batak. Orang-orang Batak mudah bertengkar sesamanya sehingga mudah dikuasai oleh bangsa lain. Persaingan kelompok marga ini mengakibatkan banyak kisah di tanah Batak. Persaingan wilayah, usir-mengusir, dendam adat, keterlibatan Padri dan perang Padri di percaturan politik tanah Batak dan lain sebagainya. Katanya sampai sekarang perebutan posisi gubernur di Sumatera Utara, bila antar sesama orang Batak maka akan terpecah dalam dua kubu ini. Benarkah (?)

Di Toba rivalitas antara Lontung dari Tatea Bulan dengan Sumba dipergunakan oleh Belanda untuk mempelemah posisi politik Sisingamangaraja XII. Dengan alasan bahwa tidak semua orang Batak mengakui kedaulatan Sinambela, Belanda berhasil mengebiri kekuasaan Parobatu. Hal yang sama juga terjadi di pesisir tanah Batak yakni Barus. Kesultanan Dinasti Pardosi dari Marga Pohan kelompok Sumba yang menjadi Sultan di Hulu diadu domba dengan Kesultanan Dinasti Pasaribu dari kelompok Tateabulan yang menjadi Sultan di Hilir. Pada gilirannya kedua pemerintahan ini berakhir tragis dengan hanya menjadi kepala kuria yakni pegawai gajian pemerintahan kolonial Belanda.

Walaupun begitu, kubu Tatea Bulan khususnya yang diwakili oleh marga Sagala telah tampil ke permukaan menjadi raja-raja di tanah Batak sejak abad ke-15 sebelum Masehi. Mereka berhasil menguasai hampir seluruh tanah Batak. Dinasti Sorimangaraja dari Marga Sagala telah menjadi raja turun-temurun di tanah Batak sampai 90 generasi. Sementara itu, di atasnya Raja Uti telah tampil sebagai raja di Kerajaannya yang bernama Hatorusan yang meliputi sebagian tanah Batak bagian barat sampai ke pesisir Barus, Singkil dan Rao. Hal yang sama juga terdahap marga Harahap.

Dominasi marga Sagala dapat ditaklukkan di abad ke-16 M saat orang-orang marga Manullang mengkudeta kekuasaan Dinasti Sorimangaraja. Bangsawan marga Sagala mengungsi ke selatan dan di Sipirok mereka settled dan mendapat pengakuan dari orang-orang keturunan Tatea Bulan.

Selain itu pula, Dinasti Uti juga mendominasi pesisir tanah Batak sejak abad ke-10-15 SM sebelum akhirnya kedaulatannya ditransfer secara sukarela kepada Sisingamangaraja I yang bermarga Sinambela yang berasal dari kubu Sumba pada pertengahan abad ke-16 M. Dinasti Uti yang terakhir kebetulan bermarga Pasaribu dan dia memberikan kedaulatan kerajaan kepada Manghuntal anak dari saudari perempuannya yang menikah dengan marga Sinambela. Manghuntal yang menjadi Sisingamangaraja adalah bere dari Raja Uti yang terakhir tersebut.

Bila dibandingkan kejayaan orang-orang Tatea Bulan dalam sejarah peradaban Batak, maka hampir dipastikan bahwa tidak ada yang dapat menandingi hegemoni dinasti-dinasti keturunan Tatea Bulan. Yakni Dinasti Sorimangaraja dan Dinasti Uti.

Dinasti Sisingamangaraja dari kelompok Sumba yang paling dikenal dalam sejarah Batak pun, tidak dapat menandingi kejayaan orang-orang Tatea Bulan. Alasannya adalah bahwa kelompok Tatea Bulan hampir merata menjadi raja di semua tempat di tanah Batak. Orang-orang Tatea Bulan juga berkuasa di Simalungun melalui Siregar Silo, turunan kerajaan Nagur, atau juga di tanah Gayo melalui Meurah Silu yang bergelar Sultan Malik al-Shaleh yang menjadi pendiri kerajaan Samudera Pasai.

Alasan kedua adalah bahwa ketika kelompok Sumba mencuat ke permukaan melalui kepemimpinan Manghuntal Sinambela, tidak semua wilayah Batak mengakui kekuasaannya. Orang-orang Tatea Bulan di selatan tanah Batak tidak pernah mengakui kepemimpinanya, orang-orang Batak di kesultanan Barus juga tunduk kepada Sultan mereka yaitu Sultan Ibrahimsyah Pasaribu yang dari Tatea Bulan. Bahkan orang-orang Lontung dari Tatea Bulan yang bermukin di Samosir juga tidak mengakui kekuasaan politik Sisingamangaraja. Hanya saja mereka mengakui kedudukannya dalam adat.

Namun ada dua hal yang menggembirakan dari kelompok Sumba sehingga antara dua kelompok ini bisa dikatakan sebagai setara dalam sejarah. Pertama adalah bahwa paska mundurnya kejayaan kubu Tatea Bulan, kelompok Sumba bangkit mengisi kekosongan politik. Kelompok Sumba berhasil membangun peradaban Batak sampai akhirnya Batak dikuasai oleh Belanda.

Yang kedua adalah hadirnya marga Pohan (Sibagotnipohan) dari kelompok Sumba yang memberi kompetisi yang ketat terhadap dominasi Tatea Bulan. Bila kita bandingkan antara Dinasti Sorimangaraja dan Dinasti Uti, jelas bahwa Kerajaan Hatorusan di bawah Dinasti Uti lebih unggul dari Dinasti Sorimangaraja.

Perjalanan sejarah Hatorusan di Barus dan Singkil selalu mendapat bayang-bayang dari orang-orang marga Pohan yang mempunyai sistem kerajaan sendiri. Bahkan paska melemahnya kerajaan hatorusan lama dan digantikan oleh kerajaan hatorusan yang dipimpin oleh orang-orang marga Pasaribu, orang-orang marga Pohan juga berdiri eksis melalui Dinasti Pardosi yang menjadi keturunan marga Pohan dari Luat Balige.

Kompromi atas konflik politik ini akhirnya dikristalisasi dalam pemerintahan ganda di Barus. Dimana Dinasti Pardosi dari Marga Pohan kelompok Sumba menjadi Sultan di Hulu dan Dinasti Pasaribu dari kelompok Tatea Bulan menjadi Sultan di Hilir Barus.

Sultan di Hulu dan Hilir adalah sebagai berikut:

Dari Kelompok Sumba, keturunan Pohan. Banyak keturunan silsilah di bawah ini yang sekarang menjadi kelompok bangsawan di Barus lebih suka memakai marga Pohan daripada Pardosi atau yang lain. Sultan di Hulu:

1. Raja Kesaktian Pohan (di Toba, Balige)
2. Alang Pardosi Pohan pindah ke Rambe dan mendirikan istana di Gotting, Tukka
3. Pucaro Duan Pardosi di Tukka
4. Guru Marsakkot Pardosi di Lobu Tua
5. Raja Tutung Pardosi di Tukka, berselisih dengan Raja Rambe di Pakkat.
6. Tuan Namora Raja Pardosi
*Ada gap yang panjang akibat konstelasi politik dengan kerajaan tetangga Aceh, Hindu Buddha Pagarruyung, Sriwijaya dan Majapahit serta penyerbuan orang-orang Gergasi ke Lobu Tua.
7. Raja Tua Pardosi
8. Raja Kadir Pardosi (Pertama masuk Islam)
9. Raja Mualif Pardosi
10. Sultan Marah Pangsu Pardosi (700-an Hijriyah)
11. Sultan Marah Sifat Pardosi
12. Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi (1054 H)
13. Tuanku Raja Kecil Pardosi
14. Sultan Daeng Pardosi
15. Sultan Marah Tulang Pardosi
16. Sultan Munawar Syah Pardosi
17. Sultan Marah Pangkat Pardosi (1170 H)
18. Sultan Baginda Raja Adil Pardosi (1213 H)
19. Sultan Sailan Pardosi (1241 H )
20. Sultan Limba Tua Pardosi
21. Sultan Ma’in Intan Pardosi
22. Sultan Agama yang bernama Sultan Subum Pardosi
23. Sultan Marah Tulang yang bernama Sultan Nangu Pardosi (1270 H)

Sultan di Hilir. Dari marga Pasaribu :


1. Raja Uti, Alias Raja Biak-biak Alias Raja Miok-miok Alias Raja Gumelleng-gelleng. Pendiri kerajaan Hatorusan sejak abad ke-10-15 SM meliputi Barus, Singkil sampai ke Rao
2. Datu Pejel gelar Raja Uti II
3. Ratu Pejel III
4. Borsak Maruhum.
5. Raja Uti V bergelar Datu Alung Aji
6. Raja Uti VI yang bernama Longgam Parmunsaki.
7. Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas.
*Ada gap yang panjang antar raja di atas karena timbul tenggelamnya kerajaan ini akibat konstelasi politik dengan kerajaan tetangga Aceh, Hindu Buddha Pagarruyung, Sriwijaya dan Majapahit. Kemudian didirikan kembali oleh Ibrahimsyah Pasaribu.

1. Datu Tenggaran Alias Parubahaji Pasaribu masuk Islam dan berganti nama menjadi Muhammadsyah menjadi raja di Tarusan, Negeri Minang.
2. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu (Gelar Raja Hatorusan). Wafat 1610 Masehi.
3. Sultan Yusuf Pasaribu (mempunyai gelar yakni Raja Uti)
4. Sultan Adil Pasaribu
5. Tuanku Sultan Pasaribu
6. Sultan Raja Kecil Pasaribu
7. Sultan Emas Pasaribu
8. Sultan Kesyari Pasaribu
9. Sultan Main Alam Pasaribu
10. Sultan Perhimpunan Pasaribu
11. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu pada tahun 1289 rabiul akhir atau pada tanggl 17 Juni 1872 menuliskan kembali Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus, dari sebuah naskah tua peninggalan leluhurnya yang hampir lapuk.

Rivalitas Sagala dan Sinambela

Dinasti Sinambela

SM Raja I adalah turunan dari Oloan dari marga Sinambela. Dinasti SM Raja di Bakkara adalah sebagai berikut:

1. Raja Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal memerintah tahun 1540 s.d. 1550
2. SM Raja II, Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595
3. SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1627
4. SM Raja IV, Tuan Sorimangaraja 1627-1667
5. SM Raja V, Raja Pallongos, 1667-1730
6. SM Raja VI, Raja Pangolbuk, 1730-1751
7. SM Raja VII, Ompu Tuan Lumbut, 1751-1771
8. SM Raja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-1788
9. SM Raja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-1819
10. SM Raja X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841
11. SM Raja XI, Ompu Sohahuaon, 1841-1871
12. SM Raja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, 1871-1907

Dinasti SM Raja I di tanah Karo adalah:

1. Sisingamangaraja I, Lahir di Bakkara, dibesarkan di Istana Raja Uti VII (Pasaribu Hatorusan) di Singkel, menjadi raja Batak di Bakkara paska menumpas pemberontakan memerintah di tahun 1540-1550 M, lalu menghilang. Diketahui kemudian dia pergi ke tanah Karo.
2. Tuan si Raja Hita (Sinambela)
3. Guru Patimpus (Sinambela), masuk Islam dan pada tanggal 1 Juli 1590, mendirikan kota Medan.
4. Datuk Hafiz Muda (Sinambela)
5. Datuk Muhammad Syah Darat (Sinambela)
6. Datuk Mahmud (Sinambela)
7. Datuk Ali (Sinambela)
8. Banu Hasim (Sinambela)
9. Sultan Seru Ahmad (Sinambela)
10. Datuk Adil (Sinambela)
11. Datuk Gombak (Sinambela)
12. Datuk Hafiz Harberhan (Sinambela)
13. Datuk Syariful Azas Haberham (Sinambela).

Dinati Sagala dari Kelompok Tatea Bulan

1. Sorimangaraja I-XC (1500M-1000M)
2. Sorimangaraja XC (1510). Dikudeta oleh orang-orang marga Simanullang
3. Raja Soambaton Sagala menjadi Sorimangaraja XCI
4. Sorimangaraja CI (ke-101) 1816 M. Masuk Islam dengan nama Syarif Sagala.

Terakhir, di pentas politik Indonesia sekarang ini, kubu Sumba lebih dikenal daripada Tatea Bulan. Kubu Sumba berhasil menjadikan dua mahaputeranya menjadi pahlawan nasional di Indonesia. Pertama adalah Sisingamangaraja XII dan yang kedua adalah KH Zainul Arifin (Pohan) yang lahir di Barus anak dari seorang bangsawan bermarga Pohan dan menjadi salah satu wakil perdana menteri di zaman revolusi kemerdekaan RI.

Catt: Perseteruan di tubuh bangsa Batak juga berujung pada perseteruan antara Raja-raja Siopat Pusoran dengan Sisingamangaraja. Perseteruan tersebut sejak lama dipicu atas persaingan monopoli perdagangan kemenyan di jalur sutera tanah Batak.

Pada masa masuknya Belanda dan perseteruan itu meruncing dengan naiknya Raja Pontas Lumban Tobing (Bagian dari Raja-raja Siopat Pusoran) dalam melindungi kepentingan Belanda kontra Sisingamangaraja XII.