Header Ads

Adudomba Ala Penjajah


Baptist Mission Society dari Inggris, mengirim tiga orang misionaris; Ricard Burton, Nathanie Ward dan Evans Brookers. Ketiganya memulai misi tersebut pada tahun 1820 dengan belajar adat dan bahasa Batak. Pada tahun 1824 mereka memulai penjelajahan ke pedalaman tanah Batak. Lihat: Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Penerbit Jendela, 2001.

Mereka diterima oleh penduduk di sana dan disambu oleh Raja-raja Batak pada 4 Mei 1824 di Lembah Silindung. Orang-orang Batak menolak maksud kedatangan mereka yakni mengkristenkan penduduk setempat dan kembali ke Sibolga pada Mei 1824.

Tuduhan pun dihujamkan kepada orang Batak bahwa mereka sangat rakus dan materialistis dengan anggapan bahwa ajaran agama baru, baru akan diterima bila mereka membawa orang Batak pada kepemilikan kekayaan, kejayaan dan kekuasaan. Sulit mencari informasi sejelasnya mengenai kejadian yang terjadi di Silindung, yang mengakibatkan orang Batak menolaknya

Namun, 'grand design' para misionaris tersebut akhirnya dapat diungkapkan juga. Kali ini orang Batak telah mencium adanya strategi adu domba yang akan mereka lakukan untuk melaga dan mengadudomba antara orang sesama orang Batak dengan suku Minang pada umumnya dan antara yang Batak pelebegu dan orang Batak yang sudah Islam, khususnya.

Manuver kotor tersebut bahkan dibongkar oleh pihak Belanda yang setelah sebuah perjanjian, Tapanuli diserahkan kepada Belanda oleh Inggris sesuai dengan Traktat London 1824 (Sijabat 1982).

Belanda dengan segera mencium bau busuk dari keberadaan para misonaris tersebut yang berusah membuat kekacauan sosial dan politik antar suku bangsa di Sumatera di daerah yang baru diserahkan dalam kekuasaan mereka. Belanda sadar ketenangan dalam koloni merupakan kunci dari keberlangsungan penjajahan mereka. Atau paling tidak strategi kotor tersebut tidak sesuai dengan strategi penjajahan Belanda.

Semua misionaris Inggris tersebut segera diusir dari tanah Batak setelah Burton dan Brooker terlibat dalam sebuah perundingan dengan Tuanku Lelo, orang Batak dari marga Nasution. Di mana 'katanya' mereka hanya bertindak sebagai penerjemah.

Namun pengusiran ini tidak mendapat hasil yang maksimal. Seketika mereka sudah pergi tahun 1824, saat itu juga perang meletus antara orang Batak sendiri. Mereka yang tidak sadar dengan sebuah grand design yang menghancurkan peradaban Batak. Antara mereka yang orang Batak Pelebegu yang beraliansi dengan kaum Parmalim dan Muslim Batak yang dicap sebagai kaum adat yang beraliansi dengan Sisingamangaraja X dan pasukannya kontra orang-orang Batak yang dicap sebagai penganut Islam puritan atau dikenal dalam sejarah dengan istilah orang-orang "Batak" Padri.

Pihak pertama dipimpin oleh Sisingamangaraja X berserta panglima-panglimanya termasuk Panglima Syarif Tanjung, pentolan muslim Batak sedangkan pihak kedua dipimpin oleh Tuanku Tambusai dari marga Harahap, Tuanku Rao, yang katanya keturunan Batak (Lontung), Mansur Marpaung yang dikenal dengan gelar Tuanku Asahan, Zulkarnain Aritonang, Amir Hussin Hutagalung dan lain-lain.

Hanya sedikit informasi mengenai perang ini, kecuali dari penulis-penulis Belanda atau paling tidak pro Belanda yang menggambarkan perang ini dengan irama hiperbolik. Dengan harapan menjadi kenangan buruk bagi generasi Batak di kemudian hari. Sehingga peran penjajah Inggris dan Belanda, dengan pembantaian, eksploitasi berabad-abad dan kerja paksanya, menjadi kenangan yang lebih 'manis'.

Orang-orang Batak yang plural saat itu; animis, parmalim dan Islam sejak abad ke-7 M dituduh hanya baru mengenal agama sejak perang hasil adu domba ini terjadi di abad ke-19. Sulit untuk menghilangkan peran 'intel' yang berbaju misionaris dan penerjemah di atas dari goresan sejarah ini.

Orang Batak Toba menganggap timbulnya perang Padri sebagai akibat rasa sakit hati Burton dan Ward karena ditolak mengembangkan Kristen. (Sihombing, 1961).

Namun, pihak penulis Belanda kemudian membanjiri perpustakaan-perpustakaan dengan tulisan mereka dimana penyebab perang ini adalah ekspansi orang Minang ke tanah Batak. Tujuan tulisan tersebut adalah timbulnya keretakan dalam harmonisasi hubungan suku Minang dan Batak. Tulisan tersebut begitu bombastis sehingga membuat pembaca menjadi sangat sulit untuk tidak mempercayainya sebagai dampak dari kampanye misinformasi.

Harmonisasi suku Minang dan Batak telah terjadi sejak abad-abad sebelum masehi. Saat zaman penyebaran penduduk Batak ke tanah Selatan. Juga diperkuat pada abad-abad ke 7-15 M, dimana suku Batak dengan pengaruh Minang berhasil mendirikan kesultanan Barus dengan pimpinan Sultan Ibrahimsyah Pasaribu yang mempunyai hubungan dengan kota Tarusan di Minang. Dan banyak lagi hubungan budaya selain kedua hal tersebut. Bangsa Batak merupakan bangsa yang telah menjalin hubungan harmonis dengan berbagai bangsa di dunia sejak dahulu kala, khususnya dengan tetangga-tetangga. Juga Dinasti Sisingamangaraja dengan hubungan mesranya dengan bangsa Aceh. Nampaknya inilah yang ingin dirusak oleh orang Eropa, menjadikan bangsa Batak mempunyai musuh di mana-mana sehingga mudah untuk dijajah dan dikuasai.

Seusai perang Padri. Misi Kristen Amerika di Boston pada tahun 1834 mengutus dua misionaris bernama Mun Sori dan Henry Lyman ke tanah Batak. Namun kedatangan mereka sudah dicium oleh orang Batak yang nasionalis.

Sebelum mereka sampai di Lembah Silindung, tempat yang pernah dikunjungi Burton dan Ward tahun 1824, di dusun Sisiangkak Lubupinang, Raja Panggalamei dan pasukannya membunuh keduanya. (Lihat: Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Penerbit Jendela, 2001, Hal 113).

Terjadi beda pendapat mengenai kedua sosok ini, dan bagaimana bentuk kematiannya. Banyak penulis yang mengatakan bahwa kuburan mereka ada di tanah Batak. Ada yang mengatakan bahwa mereka tidak senonoh yang pada akhirnya dihukum mati oleh orang Batak dan dikuburkan di sana. Ada yang mengatakan mereka dengan semena-mena menembak orang Batak bak hewan yang tidak berguna sehingga tindakan mereka mendapat pembalasan. Namun Dr. A. Schreiber lebih lantang dengan mengatakan bahwa menurut penelitiannya kedua misionaris tersebut mati dimakan oleh orang Batak.

Sejak abad 4-15 M, stigma "Batak makan orang" merupakan stigma yang diberikan oleh pihak yang ingin mengambil keuntungan dari tanah Batak dengan merendahkan sistem sosial orang Batak serendah bangsa kanibal. Tujuannya agar mereka dapat dengan mudah ditaklukkan dengan memporak-porandakan sistem sosial orang-orang Batak. Di abad ke-19, stigma ini dimunculkan kembali oleh seorang Dr. Schreiber.

Penjajahan Belanda yang membawa kepada kerja paksa yang memilukan, dan penghancuran sistem budaya dengan peraturan-peraturan dan ordonansi-ordonansi yang mengekang membuat orang Batak semakin bersemangat untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Apalagi dengan dukungan pimpinan tertinggi di tanah Batak; Sisingamangaraja XII.

Namun kini giliran masyarakat Batak sendiri yang dipecah. Raja Pontas Lumbantobing kemudian dibaptis pada tanggal 27 Agustus 1865 (Pedersen, 1975) dan posisinya yang tidak mengakui kedaulatan Sisingamangaraja XII didukung oleh Belanda dan zending.

Perpecahan budaya antara kelompok marga Siopat Pusoran (yang termasuk di dalamnya Lumbantobing, Panggabean dll) dan kedaulatan Sisingamangaraja XII diperruncng dan dipertajam. Di lain pihak, pihak kelompok marga Lontung juga diarahkan untuk menjadi musuh dalam selimut pihak Sisingamangaraja XII dengan kelompok marga Sumbanya.

Pihak Sisingamangaraja XII dikritisi dan dituduh telah lalai dengan ritus-ritus tertentu dalam budaya Batak. Perbedaan budaya tersebut, yang seharusnya menjadi titik tolak perpecahan, akhirnya hanya tameng saja demi perpecahan Sisingamangaraja XII. Masyarakat Batak terkotak-kotak dan dengan mudah kedaulatan bangsa Batak dikuasai dan dijajah.

Akibat dari operasi intelijen penjajah dan kampanye misinformasi yang mereka lakukan tersebut di masyarakat Batak terkotak-kotak menjadi

1. Kelompok fanatis pendukung Belanda, benar atau salah. Kelompok ini berusaha membangun opini bahwa kehadiran Belanda dengan penjajahannya merupakan karunia untuk memajukan bangsa Batak. Dalam tahap tertentu mereka menjadi ultra-fanatis dengan mendukung pasukan Belanda menembaki rakyat Batak, khususnya pasukan Sisingamangaraja XII, dan menolak kemerdekaan RI.

2. Timbulnya kelompok ambigu, yang di lain pihak memihak Sisingamangaraja XII dan di sisi lain merasa tidak berdaya dengan cengkeraman Belanda. Kelompok ini terbagi lagi dalam kelompok oportunis, pragmatis dan realistis. Dimana benang merah pemisah antara ketiganya sangat tipis dan sulit dibedakan.

3. Masyarakat Muslim Batak menjadi objek pemusnahan dengan ordonansi guru dan peraturan lain yang pada akhirnya bertujuan membasmi keberadaan mereka. Itulah makanya sampai sekarang orang-orang Toba biasanya heran dan tak percaya bisa ada orang Toba lainnya yang muslim sejak beberapa keturunan, karena mereka percaya orang Toba atau Batak semuanya sudah dibaptis. Tulisan-tulisan Belanda dan yang pro Belanda yang menjadi penyebabnya. Dimana saat mereka menulis sejarah Batak, mereka akan menyebut kalangan Batak yang menganut Islam sebagai orang Melayu. Sehingga posisi mereka dalam sejarah menjadi dikerdilkan karena dicap melayu tersebut. Melayu berarti orang luar. Namun saat orang Batak yang Islam yang dicap melayu tersebut mendukung Belanda, para penulis sejarah akan mencatatnya sebagai orang Batak. Khususnya terhadap para bangsawan di Barus yang bergelar Sutan. Kampanye ini membuat orang Batak juga menjadi terikut dengan sistem ini. Itulah makanya sampai sekarang Banyak orang Batak yang membenci rekan mereka yang muslim karena dikira mereka yang muslim berarti melupakan marganya. Padahal banyak muslim Batak sejak dahulu kala yang tetap memakai marga untuk identitasnya. Hanya saja banjirnya tulisan-tulisan yang pro Belanda, membutakan para pembacanya.

4. Kelompok yang mengalami kegoncangan idiologi. Sehingga mereka menjadi pindah-pindah agama. Kelompok inilah yang ditertawai oleh penulis-penulis pro-Belanda sebagai "machievelian family". Kira-kira berarti orang yang dengan terpaksa pindah agama untuk survive dari tekanan penjajah dan tekanan sosial. Saat mereka mengalami diskriminasi oleh Belanda mereka menjadi muslim, dan saat tekanan sosial menjadi berat mereka menjadi kristen mengikuti kebanyakan orang.

5. Kelompok Batak yang sudah kristen tapi merasa dipermainkan dan dianak tirikan dibanding rekan mereka yang orang Eropa. Mereka menilai bahwa walaupun mereka sudah dibaptis, tapi sebagai pribumi yang terjajah tetap diwajibkan kerja paksa.

6. Kelompok Batak Selatan, Karo, Dairi dan Simalungun yang saat menjadi muslim, mereka mempertahankan identitas mereka dan saat mereka menjadi pro Belanda, mereka mati-matian mengatakan bahwa mereka sebenarnya adalah orang Batak.

7. Kelompok pembenci orang Minang dan Aceh. Akibat pendistorsian sejarah oleh Belanda. Pembencian itu juga berujung kepada agama kedua suku tersebut yang pada akhirnya Belanda berhasil menanamkan bibit fundamentalisme dan kefanatikan beragama pada orang Batak. Namun dibandingkan mainstream Batak yang toleran dalam beragama, jumlah kelompok ini sangat kecil tapi menduduki posisi-posisi penting dalam organisasi kerohanian.

8. Kelompok pendukung Sisingamangaraja XII, baik dari parmalim, muslim, kristen dan pelebegu. Kelompok inilah yang terus bertahan mempertahankan kehormatan bangsa Batak atas penjajahan. Di Kelompok inilah nilai-nilai luhur budaya Batak tetap dilestarikan. Sebagai bangsa yang beradab, bermartabat dan berperadaban.